DARI MIRABAL KE ÍNDONESIA Perjuangan Perempuan Melawan Fasisme dan Kapitalisme
Mirabal bersaudari berasal dari Dominika. Mereka menjadi simbol perlawanan terhadap kediktatoran fasis Rafael Trujillo. Mereka hidup di situasi politik yang represif, di mana Trujillo berkuasa selama lebih dari tiga dekade melalui kontrol brutal, penyiksaan, penghilangan paksa, dan pembungkaman oposisi.
Mereka terlibat dalam 14th of June Movement, melalui jejaring politik, distribusi informasi, dan dukungan logistik untuk para tahanan politik. Karena aktivitas politiknya, keluarga Mirabal diawasi ketat, diancam, ditangkap, dan disiksa.
Pada 25 November 1960, ketika mereka dalam perjalanan pulang dari mengunjungi suami mereka yang dipenjara, aparat mencegat dan membunuh mereka secara brutal kemudian membuatnya terlihat seperti kecelakaan mobil. Namun, publik segera mengetahui kebenarannya.
Kematian mereka memicu gelombang kemarahan massif yang mempercepat runtuhnya rezim Trujillo setahun kemudian. Kisah mereka kemudian menginspirasi penetapan 25 November sebagai Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan.
Beberapa tahun terakhir, fasisme dan otoritarianisme bangkit melalui nasionalisme ekstrem, kontrol ketat atas oposisi, kriminalisasi perbedaan pendapat, dan militerisasi. Selain berdampak pada demokrasi, fenomena ini menimbulkan konsekuensi khusus bagi perempuan.
Fasisme membutuhkan pemulihan tatanan sosial konservatif yang menempatkan perempuan posisi subordinat. Inilah yang membuat perjuangan melawan kekerasan terhadap perempuan tidak dapat dilepaskan dari perjuangan melawan fasisme, nasionalisme eksklusif, dan otoritarianisme ekonomi-politik.
Peringatan tahun ini berlangsung di tengah gelombang protes yang meningkat di berbagai negara Asia-Pasifik dan wilayah Global-Selatan. Rakyat turun ke jalan bukan hanya karena korupsi yang mengakar, tetapi juga karena ketimpangan global yang menumpuk akibat ekonomi neoliberal.
Indonesia menghadapi dinamika serupa: konflik agraria, eksploitasi sumber daya alam, dan krisis sosial yang semakin menekan kelompok rentan, terutama perempuan dan anak. Di tengah krisis, oligarki dan pejabat komprador semakin kaya, sementara rakyat harus menerima pemotongan hak sosial, stagnasi upah, dan layanan publik yang menurun.
Deklarasi PBB menekankan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan manifestasi dari relasi kuasa yang tidak setara secara historis. Namun, persoalan ini tidak bisa dipahami semata-mata sebagai relasi antara laki-laki dan perempuan.
Pembagian kerja berbasis gender yang telah mengakar sejak pembentukan Masyarakat-kelas menciptakan struktur ketimpangan yang diperkuat oleh ekonomi eksploitatif. Dalam sistem yang bertumpu pada akumulasi kapital perempuan ditempatkan pada posisi subordinat baik dalam rumah tangga, ranah publik, maupun struktur ekonomi-politik yang lebih luas.
Setiap 25 November, kita bukan hanya mengenang sejarah kekerasan, tetapi juga memperbarui komitmen untuk melawan struktur yang membuat kekerasan itu berkelanjutan. Perjuangan melawan kekerasan terhadap perempuan tidak dapat dipisahkan dari perlawanan terhadap korupsi, fasisme, dan tatanan ekonomi politik yang menindas.
Perlawanan terhadap tatanan ini memerlukan solidaritas untuk mencapai perubahan sistemik. Untuk sebuah tatanan baru yang menolak kekerasan, eksploitasi, dan penindasan dalam bentuk apa pun. Saatnya memperjuangkan dunia yang lebih adil, aman, dan membebaskan bagi semua perempuan dan seluruh rakyat.
HANCURKAN IMPERIALISME, FEODALISME, DAN KAPITAHS BIROKRAT!

